Berita kedatangan bala bantuan kepada pasukan Muslim yang tengah
mengepung kota membuat pasukan dan warga Kristen dan Yahudi yang berdiam
di dalam kota menjadi ciut. Mengingat kedudukan Yerusalem sebagai kota
suci, sebenarnya pasukan Muslim enggan menumpahkan darah di kota itu.
Sementara kaum Kristen yang mempertahankan kota itu juga sadar mereka
tidak akan mampu menahan kekuatan pasukan Muslim. Menyadari
memperpanjang perlawanan hanya akan menambah penderitaan yang sia-sia
bagi penduduk Yerusalem, maka Patriarch Yerusalem, Uskup Agung
Sophronius mengajukan perjanjian damai. Permintaan itu disambut baik
Panglima Amru bin Ash, sehingga Yerusalem direbut dengan damai tanpa
pertumpahan darah setetespun.
Walaupun demikian, Uskup Agung
Sophronius menyatakan kota suci itu hanya akan diserahkan ke tangan
seorang tokoh yang terbaik di antara kaum Muslimin, yakni Khalifah Umar
bin Khattab Radhiyallahu 'Anhu. Sophronius menghendaki agar Amirul
Mukminin tersebut datang ke Yerusalem secara pribadi untuk menerima
penyerahan kunci kota suci tersebuit. Biasanya, hal ini akan segera
ditolak oleh pasukan yang menang. Namun tidak demikian yang dilakukan
oleh pasukan Muslim. Bisa jadi, warga Kristen masih trauma dengan dengan
peristiwa direbutnya kota Yerusalem oleh tentara Persia dua dasawarsa
sebelumnya di mana pasukan Persia itu melakukan perampokan, pembunuhan,
pemerkosaan, dan juga penajisan tempat-tempat suci. Walau orang-orang
Kristen telah mendengar bahwa perilaku pasukan kaum Muslimin ini
sungguh-sungguh berbeda, namun kecemasan akan kejadian dua dasawarsa
dahulu masih membekas dengan kuat. Sebab itu mereka ingin jaminan yang
lebih kuat dari Amirul Mukminin.
Panglima Abu Ubaidah memahami
psikologis penduduk Yerusalem tersebut. Ia segera meneruskan permintaan
tersebut kepada Khalifah Umar r.a. yang berada di Madinah. Khalifah Umar
segera menggelar rapat Majelis Syuro untuk mendapatkan nasehatnya.
Utsman bin Affan menyatakan bahwa Khalifah tidak perlu memenuhi
permintaan itu karena pasukan Romawi Timur yang sudah kalah itu tentu
akhirnya juga akan menyerahkan diri. Namun Ali bin Abi Thalib
berpandangan lain. Menurut Ali, Yerusalem adalah kota yang sama sucinya
bagi umat Islam, Kristen, dan Yahudi, dan sehubungan dengan itu, maka
akan sangat baik bila penyerahan kota itu diterima sendiri oleh Amirul
Mukminin. Kota suci itu adalah kiblat pertama kaum Muslimin, tempat
persinggahan perjalanan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Salam pada
malam hari ketika beliau ber-isra' dan dari kota itu pula Rasulullah
ber-mi'raj. Kota itu menyaksikan hadirnya para anbiya, seperti Nabi
Daud, Nabi Sulaiman, dan Nabi Isa. Umar akhirnya menerima pandangan Ali
dan segera berangkat ke Yerusalem. Sebelum berangkat, Umar menugaskan
Ali untuk menjalankan fungsi dan tugasnya di Madinah selama dirinya
tidak ada.
Kepergian Khalifah Umar hanya ditemani seorang pelayan
dan seekor unta yang ditungganginya bergantian. Ketika mendekati Desa
Jabiah di mana panglima dan para komandan pasukan Muslim telah
menantikannya, kebetulan tiba giliran pelayan untuk menunggang unta
tersebut. Pelayan itu menolak dan memohon agar khalifah mau menunggang
hewan tersebut. Tapi Umar menolak dan mengatakan bahwa saat itu adalah
giliran Umar yang harus berjalan kaki. Begitu sampai di Jabiah,
masyarakat menyaksikan suatu pemandangan yang amat ganjilyang belum
pernah terjadi, ada pelayan duduk di atas unta sedangkan tuannya
berjalan kaki menuntun hewan tunggangannya itu dengan mengenakan pakaian
dari bahan kasar yang sangat sederhana. Lusuh dan berdebu, karena telah
menempuh perjalanan yang amat jauh.
Di Jabiah, Abu Ubaidah
menemui Khalifah Umar. Abu Ubaidah sangat bersahaya, mengenakan pakaian
dari bahan yang kasar. Khalifah Umar amat suka bertemu dengannya. Namun
ketika bertemu dengan Yazid bin Abu Sofyan, Khalid bin Walid, dan para
panglima lainnya yang berpakaian dari bahan yang halus dan bagus, Umar
tampak kurang senang karena kemewahan amat mudah menggelincirkan orang
ke dalam kecintaan pada dunia.
Kepada Umar, Abu Ubaidah
melaporkan kondisi Suriah yang telah dibebaskannya itu dari tangan
Romawi Timur. Setelah itu, Umar menerima seorang utusan kaum Kristen
dari Yerusalem. Di tempat itulah Perjanjian Aelia (istilah lain
Yerusalem) dirumuskan dan akhirnya setelah mencapai kata sepakat
ditandatangani. Berdasarkan perjanjian Aelia itulah Khalifah Umar r.a.
menjamin keamanan nyawa dan harta benda segenap penduduk Yerusalem, juga
keselamatan gereja, dan tempat-tempat suci lainnya. Penduduk Yerusalem
juga diwajibkan membayar jizyah bagi yang non-Muslim. Barang siapa yang
tidak setuju, dipersilakan meninggalkan kota dengan membawa harta-benda
mereka dengan damai. Dalam perjanjian itu ada butir yang merupakan
pesanan khusus dari pemimpin Kristen yang berisi dilarangnya kaum Yahudi
berada di Yerusalem. Ketentuan khusus ini berangsur-angsur dihapuskan
begitu Yerusalem berubah dari kota Kristen jadi kota Muslim.
Perjanjian
Aeliasecara garis besar berbunyi: "Inilah perdamaian yang diberikan
oleh hamba Allah 'Umar, Amirul Mukminin, kepada rakyat Aelia: dia
menjamin keamanan diri, harta benda, gereja-gereja, salib-salib mereka,
yang sakit maupun yang sehat, dan semua aliran agama mereka. Tidak boleh
mengganggu gereja mereka baik membongkarnya, mengurangi, maupun
menghilangkannya sama sekali, demikian pula tidak boleh memaksa mereka
meninggalkan agama mereka, dan tidak boleh mengganggu mereka. Dan tidak
boleh bagi penduduk Aelia untuk memberi tempat tinggal kepada orang
Yahudi."
Setelah itu, Umar melanjutkan perjalanannya ke
Yerusalem. Lagi-lagi ia berjalan seperti layaknya seorang musafir biasa.
Tidak ada pengawal. Ia menunggang seekor kuda yang biasa, dan menolak
menukarnya dengan tunggangan yang lebih pantas.
Di pintu gerbang
kota Yerusalem, Khalifah Umar disambut Patriarch Yerusalem, Uskup Agung
Sophronius, yang didampingi oleh pembesar gereja, pemuka kota, dan para
komandan pasukan Muslim. Para penyambut tamu agung itu berpakaian
berkilau-kilauan, sedang Umar hanya mengenakan pakaian dari bahan yang
kasar dan murah. Sebelumnya, seorang sahabat telah menyarankannya untuk
mengganti dengan pakaian yang pantas, namun Umar berkata bahwa dirinya
mendapatkan kekuatan dan statusnya berkat iman Islam, bukan dari pakaian
yang dikenakannya. Saat Sophronius melihat kesederhanaan Umar, dia
menjadi malu dan mengatakan, "Sesungguhnya Islam mengungguli agama-agama
manapun."
Di depan The Holy Sepulchure (Gereja Makam Suci
Yesus), Uskup Sophronius menyerahkan kunci kota Yerusalem kepada Khalifa
Umar r.a. Setelah itu Umar menyatakan ingin diantar ke suatu tempat
untuk menunaikan shalat. Oleh Sophronius, Umar diantar ke dalam gereja
tersebut. Umar menolak kehormatan itu sembari mengatakan bahwa dirinya
takut hal itu akan menjadi preseden bagi kaum Muslimin generasi
berikutnya untuk mengubah gereja-gereja menjadi masjid. Umar lalu dibawa
ke tempat di mana Nabi Daud Alaihissalam konon dipercaya shalat dan
Umar pun shalat di sana dan diikuti oleh umat Muslim. Ketika orang-orang
Romawi Bizantium menyaksikan hal tersebut, mereka dengan kagum berkata,
kaum yang begitu taat kepada Tuhan memang sudah sepantasnya ditakdirkan
untuk berkuasa. "Saya tidak pernah menyesali menyerahkan kota suci ini,
karena saya telah menyerahkannya kepada ummat yang lebih baik ...,"
ujar Sophronius.
Umar tinggal beberapa hari di Yerusalem. Ia
berkesempatan memberi petunjuk dalam menyusun administrasi pemerintahan
dan yang lainnya. Umar juga mendirikan sebuah masjid pada suatu bukit di
kota suci itu. Masjid ini sekarang disebut sebagai Masjid Umar. Pada
upacara pembangunan masjid itu, Bilal r.a. - bekas budak berkulit hitam
yang sangat dihormati Khalifah Umar melebihi dirinya - diminta
mengumandangkan adzan pertama di bakal tempat masjid yang akan
didirikan, sebagaimana adzan yang biasa dilakukannya ketika Rasulullah
masih hidup. Setelah Rasulullah saw wafat, Bilal memang tidak mau lagi
mengumandangkan adzan. Atas permintaan Umar, Bilal pun melantunkan adzan
untuk menandai dimulainya pembangunan Masjid Umar. Saat Bilal
mengumandangkan adzan dengan suara yang mendayu-dayu, Umar dan kaum
Muslimin meneteskan air mata, teringat saat-saat di mana Rasulullah
masih bersama mereka. Ketika suara adzan menyapu bukit dan lembah di
Yerusalem, penduduk terpana dan menyadari bahwa suatu era baru telah
menyingsing di kota suci tersebut.[]
No comments:
Post a Comment